:: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ...." (Al-Baqarah(2) : 286) :: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah(2) : 177) :: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah(2) : 268 :: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa(17) : 36) :: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah(99) : 7,8)
::

Tafsir Al Qur’anul Karim



Al-Qur’anul Karim adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ilmu pengetahuan, kisah-kisah, filsafah, peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku dan tata cara hidup manusia, baik sebagai mahluk individu ataupun sebagai mahluk sosial, sehingga berbahagia hidup di dunia dan akhirat.

        Al-Qur’anul Karim dalam menerangkan hal-hal yang tersebut di atas, ada yang dikemukakan secara terperinci, seperti yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum warisan, dan sebagainya, dan ada pula dikemukakan secara umum dan garis besarnya saja. Yang diterangkan secara umum dan garis besarnya ini, ada yang diperinci dan dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad SAW., dan ada yang diserahkan kepada kaum Muslimin sendiri memperincinya sesuai dengan keperluan suatu kelompok manusia, keadaan, masa, dan tempat, seperti dalam soal kenegaraan. Al-Qur’an mengemukakan “prinsip musyawarah” adanya suatu badan yang mewakili rakyat, keharusan berlaku adil dan sebagainya.

        Di samping itu agama Islam membuka pintu ijtihad bagi kaum Muslimin dalam hal yang diterangkan oeh Al-Qur’an dan hadits secara qath’i (tegas). Pembukaan pintu ijtihad inilah yang memungkinkan manusia memberi komentar, memberi keterangan dan mengeluarkan pendapat tentang hal yang tidak disebut atau yang masih umum dan belum terperinci dikemukakan oleh Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW. sendiri beserta sahabat-sahabat beliau adalah orang-orang yang menjadi pelopor dalam hal ini, kemudian diikuti oleh para tabi’ien, para tabi’it tabi’ien, dan generasi-generasi yang tumbuh dan hidup pada masa-masa berikutnya.

        Memang, pada masa hidup Rasulullah S.A.W., kebutuhan tentang tafsir Al-Qur’an belumlah begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak atau kurang memahami sesuatu ayat Al-Qur’an, mereka dapat langsung menanyakannya kepada Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah SAW. selalu memberikan jawaban yang memuaskan. Setelah Rasulullah SAW. meninggal, apalagi setelah agama Islam meluaskan sayapnya ke luar Jaziratul Arab, dan memasuki daerah-daerah yang masih berkebudayaan lama, terjadilah persinggungan antara agama Islam yang masih dalam bentuk kesederhanaannya di satu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah mempunyai pengalaman, perkembangan serta keuletan daya juang di pihak yang lain. Di samping itu kaum Muslimin sendiri menghadapi persoalan baru, terutama dengan meluasnya daerah Islam itu. pergeseran, persinggungan dan keperluan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan baru itu akan dapat dipecahkan apabila ayat Al-Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar sekedar menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu. Maka tampilah ke muka beberapa orang sahabat dan tabi’ien memberanikan diri menafsirkan ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum dan global itu, sesuai dengan batas-batas lapangan berijtihad bagi kaum muslimin.

        Demikianlah, masa berlalu; tiap-tiap masa hidup generasi yang mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya; kebutuhan suatu generasi berlainan dan hampir tidak sama dengan kebutuhan generasi yang lain. Begitu pula perbedaan tempat dan keadaan, belumlah dapat dikatakan sama keperluan dan kebutuhannya, sehingga timbulah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar-menukar pengalaman yang dialami oleh manusia pada suatu daerah denga daerah lain; mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang dilengkapi, dan mana yang tidak sesuai lagi dikesampingkan, sampai nanti keadaan dan masa membutuhkan pula.

        Begitu pulalah halnya tafsir Al-Qur’an; ia berkembang mengikuti irama perkembangan masa dan memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi. Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir Al-Qur’an yang sesuai dengan kebutuhan dan keperluan generasi itu denggan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama Islam sendiri. Dalam pada itu ilmu Tafsir sendiri yang dahulu merupakan bagian dari ilmu Hadits telah mengemansipasikan diri dengan ilmu-ilmu yang lain. Sebagaimana halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, maka di dalam ilmu Tafsir terdapat pula aliran-aliran dan perbedaan pendapat yang timbul karena perbedaan pandangan dan segi meninjaunya, sehingga sampai pada saat ini terdapat puluhan, bahkan ratusan kitab-kitab Tafsir dari berbagai aliran, sebagai hasil karya dari generasi-generasi yang sebelumnya. Dalam menguraikan perkembangan kitab-kitab Tafsir dan ilmu Tafsir nanti akan dibagi dalam tiga periode:

A. Periode Sahabat, Tabi’ien, Tabi’iet, Tabi’iet-Tabi’ien (Mutaqaddimin).

B. Periode Mutaakhirin.

C. Tafsir Pada Periode Baru.

 

A. Periode Sahabat, Tabi’ien, Tabi’iet, Tabi’iet-Tabi’ien (Mutaqaddimin).

a. Perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an.

        Al-Qur’anul Karim diturunkan dalam bahasa Arab, karena itu pada umumnya orang-orang Arab dapat mengerti dan memahaminya dengan mudah. Dalam pada itu para sahabat adalah orang-orang yang paling mengerti dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an, akan tetapi para sahabat itu sendiri mempunyai tingkatan yang berbeda-beda dalam memahami Al-Qur’an. Hal ini terutama disebabkan perbedaan tingkatan pengehtahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbedaan tingkatan para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an ialah:

  1. Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengehtahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti berbeda-bedanya pengetahuan para sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an, dan sebagainya, sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an berbeda-beda pula.

  2. Ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Muhammad SAW., sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayar Al-Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Padahal pengetahuan tetntang sebab-sebab Al-Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Karena itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al-Qur’an diturunkan itu, lebih mampu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan yang lain.

    Sebagai contoh dapat dikemukan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gubernur Bahrain. Sekali peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: “Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?” Kata Jarud: “Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah kukatakan”. Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: “Ya Qudamah! Aku akan mendera engkau!” Berkata Qudamah: “Seandainya aku meminum khamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasanpun bagi engkau untuk mendera”. Umar berkata: “Kenapa?” Jawab Qudamah: “Karena Allah telah berfirman dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93:

    “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh, karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

    Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad SAW. dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq, dan peperangan yang lain.” Umar berkata Qudamah: “Apakah tidak ada diantara kamu sekalian yang akan membantah Qudamah?” Berkata Ibnu Abbas: “Sesungguhnya ayat 93 surat (5) Al-Maaidah diturunkan sebagi uzur bagi umat pada masa sebelum ayat ini diturunkan, karena Allah berfirman: Surat (5) Al-Maaidah ayat 90:

    “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk perbuatan syaitan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat keberuntungan (sukses)”.

    Berkata Umar: “Benarlah Ibnu Abbas.”

    Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ibnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab diturunkannya ayat 93 surat (5) Al Maa-idah dibanding dengan Qudamah. Sebab menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al Maa-idah diturunkan, sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah meninggal, padahal mereka dahulu sering minum khamar, seperti Saidina Hamzah, paman Nabi yang gugur sebagai syuhada pada perang Uhud. Ada sahabat yang mengatakan bahwa Hamzah tetap berdosa karena perbuatannya yang telah lalu itu. karena itu turunlah ayat 93 surat (5) Al Maa-idah, yang menyatakan bahwa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 surat (5) Al Maa-idah tidak berdosa karena meminum khamar itu, tetapi Umat sekarang berdosa meminumnya.

  3. Perbedaan tingkat pengehtahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan haji, dibanding dengan para sahabat yang kurang tahu.

  4. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oelh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al-Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, akan lebih tepat dapat memahami ayat-ayat tersebut dibanding dengan yang tidak mengetahui.

 

b. Sumber-sumber tafsir pada periode mutaqaddimin:

        Pada periode ini penafsiran Al-Qur’an bersumber pada:

  1. Sabda, perbuatan, taqrir, dan jawaban Rasulullah s.a.w., terhadap soal-soal yang dikemukakan para sahabat apabila kurang atau tidak dapat memahami maksud suatu ayat Al-Qur’an. Tafsiran yang berasal dari Rasulullah ini disebut “Tafsir manquul”.

    Seperti: diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ashshalaatul wusthaa” dalam surat Al Baaqarah ayat 238 maksudnya ialah: shalat Ashar. Contoh lain ialah: Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku menanyakan kepada Rasulullah s.a.w. tentang Yaumul Hajjil Akbar”, dalam surat (9) At Taubah ayat 3, Rasulullah s.a.w. menjawab: “Yaumun nahr.”

    Tafsir yang berasal dari sabda, perbuatan, taqrir, dan jawaban Rasulullah terhadap soal-soal yang diajukan ini, didapati dalam bentuk hadits, yang mempunyai sanad-sanad tertentu. Sebagaimana halnya hadits, maka sanad ini ada yang saheh, yang hasan, yang dhaif, yang maudhu’, dan sebagainya. Begitu pula sering didapat ma’nanya bertentangan dengan khabar mutawatir, bahkan bertentangan dengan akal pikiran. Oleh sebab itu apabila hadits tafsir ini akan digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, perlu diadakan penelitian terlebih dahulu, apakah dapat dijadikan hujjah atau tidak.

  2. Ijtihad. Di antara para sahabat dan tabi’ien dalam menafsirkan Al-Qur’an, di samping menggunakan hadits-hadits Nabi, juga menggunakan hasil pikiran mereka masing-masing; mereka berijtihad dalam menetapkan maksud suatu ayat. Hal ini mereka lakukan karena mereka mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan bahasa Arab, ahu tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, tahu adat istiadat, tahu tentang sebab-sebab suatu ayat diturunkan, tahu adat istiadat Arab Jahiliyah, dan tetntang cerita-cerita Irailiyaat, dan sebagainya.

    Contohnya ialah: kata “Aththuur” dalam ayat 63 surat (2) Al Baqaarah ditafsirkan dengan tafsiran yang berbeda. Mujahid menafsirkannya dengan “gunung”, sedang Inu Abbas menafsirkannya dengan “gunung Thuur” dan sebagainya.

    Di samping itu ada pula di antara sahabat dan tabi’ien yang tidak mau menafsirkan Al-Qur’an menurut ijtihad mereka, seperti Said bin Musayyab ketika ditanya tentang menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, beliau menjawab: “Saya tidak akan mengatakan sesuatu tentang Al-Qur’an.”

  3. 1.Cerita-cerita Israiliyaat: ialah perkhabaran yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani. Kaum Muslimin banyak mengambil cerita dari Israiliyaat ini, sebab Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah berkata: “Bila dikisahkan kepadamu tentang ahli kitab, janganlah dibenarkan dan jangan pula dianggap dusta”. Maksudnya ialah supaya kaum Muslimin menyelidiki lebih dahulu tentang kebenaran cerita-cerita yang dikemukakan oleh ahli Kitab. Setelah nyata kebenarannya barulah diambil sebagai pegangan.

 

c. Ahli tafsir pada periode mutaqaddimin.

        Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang yang dianggap sebagai penafsir Al-Qur’an termasuk para Khalifah sendiri, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin ‘Ali Thalib. Sahabat-sahabat yang paling banyak oranga mengampil riwayat daripadanya ialah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan sahabat-sahabat yang lain.

        Para tabi’ien yang banyak eriwayatkan dari Ibnu Abbas yang masyur ialah Mujahid, ‘Atha’ bin Rabah, ‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair, semuanya adalaha murid-murid Ibnu Abbas sendiri. Tentang murid-murid Ibnu Abbas yang empat orang ini para ulama mempunyai penilaian yang berlainan. Mujahid adalah orang yang mendapat kepercayaan dari ahli hadits. Imam Syafi’ie. Bukhari dan imam-imam yang lain banyak mengambil riwayat daripadanya. Di samping itu ada pula orang yang mengkritiknya karena sering berhubungan dengan ahli Kitab, tetapi kritik itu tidak mengurangi nilai beliau. Demikian pula halnya ‘Atha’ bin Rabah dan Sa’id bin Jubair. Adapun ‘Ikrimah banyak orang yang mengambil riwayat daripadanya. Dia berasal dari suku Barbar di Afrika Utara, serta bekas budak Ibnu Abbas, kemudian setelah dia dimerdekakan, langsung berguru kepada beliau. Para ahli tafsir mempunyai penilaian riwayat beliau setelah dilakukan pemeriksaan yang teliti. Bukhari sendiri banyak juga mengambil riwayat dari ‘Ikrimah.

        Dia antara pada tabi’ien yang banyak meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ialah Masruq bin Ajda’, seorang yang zuhud lagi kepercayaan, keturunan Arab dari Bani Hamdan, berdiam di Kufah. Kemudian Qatadah bin Di’aamah, seorang Arab yang berdiam di Basrah. Keistimewaan Qatadah ialah bahwa beliau menguasai betul bahasa Arab, pengetahuannya yang luas tentang sya’ir-sya’ir, peperangan-peperangan Arab Jahiliyah dan beliau adalah orang yang ahli tentang silsilah bangsa Arab Jahiliyah. Qatadah adalah seorang kepercayaan, hanya saja sebahagian ahli tafsir keberatan menerima riwayat beliau yang berhubungan dengan Qadha dan Qadar.

        Pada periode ini belumlah didapati kitab-kitab tafsir, kecuali kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh orang-orang yang terakhir di antara mereka, yaitu orang-orang yang mendapati masa tabi’it tabi’ien, seperti Mujahid (meninggal tahun 104 H), dan lain-lain.

        Sesudah datang angkatan tabi’it tabi’ien barulah ditulis buku-buku tafsir yang melengkapi semua surat-surat Al-Qur’an. Buku-buku tafsir yang mereka tulis itu mengandung perkataan-perkataan sahabat dan tabi’ien.

        Di antara tabi’it tabi’ien yang menulis tafsir itu ialah: Sufyan bin Uyainah, Jazid bin Harun, Al Kalbi, Muhammad Ishak, Mutaqil bin Sulaiman, Al Waqidi, dan banyak lagi yang lain-lain.

        Penulis tafsir yang terkenal pada periode itu ialah Al Waqidi (meninggal 207 H), sesudah itu Ibnu Jarier Aththbary (meninggal 310 H). Tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir mutaqaddimien yang paling besar dan sampai ke tangan generasi sekarang, namanya ialah Jaami’ul Bayaan. Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir Ibnu Jarir itu.

 

 

B. Periode Mutaakhirin. (Abad 4 – Abad 12 H)

        Setelah agama Islam meluaskan sayapnya ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama, seperti Persia, Asia tengah, India, syria, Turki, Mesir, Etiopia, dan Afrika Utara, terjadilah persinggungan dan pergeseran antara Agama Islam yang masih dalam bentuk sederhana dengan kebudayaan lama yang sudah diolah, berkembang serta mempunyai kekuatan dan keuletan.

        Maka sejak waktu itu mulailah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oeh penganut-penganut kebudayaan tersebut. Karena itu mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu falsafah, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban, dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telah dapat dimiliki dan dibukukan ilmu-ilmu gaya bahasa, ilmu keindahan bahasa, dan segala hal yang behubungan dengan ilmu bahasa.

        Perobahan ini menimbulkan pula perobahan dalam penyusunan dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir. Ahli tafsir tidak lagi hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien saja, tetapi telah mulai bekrja, menyelidiki, menelitim dan membanding apa-apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang dahulu dari mereka. Tidak hanya sampai demikia saja. Bahkan para mufasir telah mulai menafsirkan dari segi gaya gahasa, keindahan bahasa, tata bahasa, di samping mengolah, dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan pengehtahuan-pengehtahuan yang telah mereka miliki. Karena itu terdaptlah kitab-kitab tafsir yang diakarang dan ditinjau dari berbagai-bagai segi yaitu:

  1. Golongan yang meninjau dan menafsirkan Al-Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan bahasa. Yang menyusun secara ini ialah Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaaf, kemudian oleh Baidhawy.
  2. Golongan yang meninjau dan menafsirkan Al-Qur’an dari segi tata bahasa, kadang-kadang mereka menggunakan syair-syair Arab untuk mengokohkan pendapat mereka, seperti Az Zajjaad dalam tafsirnya: Ma’aanil Qur’an; Al Waahadi dalam tafsirnya: Al Basiith; Abu Hayyaan Muhammad bin Yusuf al Andalusi dalam tafsirnya: Al Bharul Muhiith.
  3. Golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-cerita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan kadang-kadang berasal dari kaum Zindik yang ingin merusak agama Islam. Dalam menghadapi tafsir yang seperti ini sanyat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum Muslimin sendiri. Yang menafsirkan Al-Qur’an secara ini yang paling terkenal ialah Ats Tsa’labi, kemudian ‘Alaauddin bin Muhammad Al Baghdaadi (wafat 741 H), tafsir Al Khaazin juga termasuk golongan ini.
  4. Golongan yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum; menetapkan hukum-hukum fikh. Penafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleh A Qurthuby dengan tafsirnya: Jami’ Akhaamul Qur’an; Ibnul Araby dengan tafsirnya: Akhaamul Qur’an, Al Jashshaash dengan tafsirnya: Ahkaamul Qur’an, Hasan Shiddiq Khan dengan tafsirnya: Nailul Maraam.
  5. Golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat itu seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah. Lalu dengan penafsiran itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Penafsir yang terkenal menafsirkan ayat seperti tersebut di atas ialah Imam Ar Razy (meninggal 610 H) dengan tafsirnya: Mafaa’tihul Ghaib.
  6. Golongan yang menitikberatkan penafsiran kepada isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tashawwuf, seperti tafsir; At Tasturi, susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At Tasturi.
  7. 1.Golongan yang hanya memperkatakan lafazh Al-Qur’an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu’jam Ghariibil Qur’an, nukilan Muhammad Fuad Abdul Baaqi dari Shaheh Bukhari.
  8.         Di samping itu masih kita dapati kitab-kitab tafsir seperti dari:

    1. 1.Aliran Mu’tazilah, Banyak sekali, bahkan ratusan kitab-kitab tafsir yang dikarang menurut aliran ini sesuai dengan dasar-dasar pokok aliran Mu’tazilah. Tetapi yang sampai kepada generasi sekarang amat sedikit sekali jumlahnya, seperti Kitab Majaalisusy Syariif al Murtadha. Menurut pendapat sebahagian ahli tafsir kitab Majaalisusy Syariif al Murthada bernafaskan aliran Syi’ah Mu’tazilah. Kumpulan tafsir ini sekarang telah dicetak di Mesir dengan nama Amali Al Murthada.
    2. Tafsir aliran Syi’ah.

      Kaum Syi’ah banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir. Penafsiran mereka ditunjukan kepada pengagungan Ali dan keturunannya, penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, dan sebagainya. Mereka berani melakukan ta’wil yang jauh sekali untuk kepentingan aliran mereka, seperti sapi betina yang disuruh kaum Musa a.s. menyembelihnya ditafsirkan dengan Aisyah isteri Nabi Muhammad s.a.w. Jibt dan Thaagut ditafsirkan dengan Muawiyah dan Amr bin Ash dan sebagainya.

     

     

    C. Tafsir Pada Periode Baru.

            Periode ini dapat dikatakan dimulai sejak akhir abad ke 19 sampai saat ini, pada waktu mana seluruh bahagian-bahagian bumi yang menganut agama Islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa Barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat Islam telah merasakan agama mereka dihinakan, dan menjadi alat permainan, serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.

            Maka terkenal-lah modernisasi Islam yang dilakukan di Mesir oleh tokoh-tokoh Islam Jamaluddin al-Afghani dan murid beliau Syekh Muhammad Abduh. Di Pakistan dan di India dipelopori oleh Sayid Ahmad Khan. Gerakan modernisasi ini tidak hanya di Mesir dan Pakistan saja, tetapi telah menjalar pula di Indonesia, yang dipelopori oleh H.O.S. Cokroaminoto dengan Syarikat Islamnya, kemudian K.H. Ahmad Dahlan yang terkenal dengan perkumpulan Muhammadiyahnya dan K.H. Hasyim Asari yang terkenal dengan perkumpulan Nahdlatul Ulamanya.

            Bentuk modernisasi Islam pada masa ini ialah menggali kembali Api Islam yang telah hampir padam, membela agama Islam dari serangan sarjana-sarjana Barat. Dalam usaha membela agama Islam dari serangan Barat ini, kaum Muslimin mempelajari pengetahuan-pengetahuan, kemajuan-kemajuan, bahkan tradisi yang dipakai oleh Barat itu untuk dijadikan alat penangkis serangan-serangan itu.

            Begitu pulalah kitab tafsir yang dikarang dalam periode ini, ia mengikuti garis perjuangan dan jalan pikiran kaum Muslim pada waktu itu, seperti halnya: Tafsir al Manar, yang ditulis Said Rasyid Redha, tafsir Mahaasinut ta’wil susunan Syekh Jamaluddin Al Qasimi, tafsir Thanthawi Jauhari dan tafsir yang lain yang tidak sedikit jumlahnya.

     

    Tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia.

            Usaha menafsirkan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia telah dilakukan oleh para ulama Indonesia, tetapi sampai sekarang belumlah kita dapati suatu kitab tafsir Al-Qur’an yang ditertibkan selengkapnya. A. Halim Hasan cs baru dapat menyelesaikan enam setengah juz dan yang enam juz telah diterbitkan oleh “Pustaka Islamiyah Medan”. Kitab tafsir yang telah mulai ditertibkan sejak tahun 1936 ini, menurut pengarang-pengarangnya banyak mengutip pendapat-pendapat ahli tafsir yang terdapat pada kitab tafsir yang berbahasa Arab. Tafsir An Nur karangan Prof. T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, mulai diterbitkan tahun 1956, sampai saat ini selesai diterbitkan 21 juz oleh penerbit “Bulan Bintang” Jakarta. Kitab tafsir ini diperkirakan akan merupakan tafsir Al Qur’an yang pertama yang lengkap dalam bahasa Indonesia, karena telah selesai dikerjakan seluruhnya oleh pengarangnya; hanya saja belum dapat lagi diterbitkan seluruhnya. Di samping itu terdapat kitab-kitab tafsir yang lain dalam bahasa Indonesia yang belum merupakan tafsir Al-Qur’an seluruhnya

            Dalam tahap-tahap Pelita (pen: Pembangunan Lima Tahun, Program pembangunan pada masa pemerintahan orde baru), “Penafsiran Al-Qur’an” adalah termasuk salah satu proyek yang diutamakan, sebagai mana halnya (Penterjemahan Al-Qur’an” yang termasuk dalam Pelita I yang dilaksanakan oleh Departemen Agama R.I.

     

    ....

    Kembali ke atas....

Indonesia Beriman