:: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. ...." (Al-Baqarah(2) : 286) :: "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah(2) : 177) :: "Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah(2) : 268 :: ”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Israa(17) : 36) :: "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (Az-Zalzalah(99) : 7,8)
::

Sejarah Pemeliharaan Kemurnian Al Qur’an



A. Memelihara Al-Qur’an di Masa Nabi S.A.W.

Pada permulaan Islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf; amat sedikit diantara mereka yang pandai menulis dan membaca.

        Mereka belum mengenal kertas, sebagai kertas yang dikenal sekarang.

        Perkataan “Al waraq” (daun yang lazim) pula dipakaikan dengan arti “kertas” di masa itu, hanyalah dipakaikan kepada daun kayu saja.

        Adapun kata “al qirthas” yang daripadanya terambil kata-kata Indonesia “kertas” dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu: kulit binatang, batu yang tipis, dan licin, pelapah tamar (korma), tulang binatang, dan lain-lain sebagainya.

        Setelah mereka menaklukan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW., barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamai kertas itu “kaqhid”, maka dipakailah kata-kata kaqhid ini untuk kertas oleh bangsa Arab semenjak itu.

        Adapun sebelum masa Nabi ataupun di masa Nabi, kata-kata “al kaqhid” itu tidak ada bertemu dengan bahasa Arab, maupun dalam hadits-hadits Nabi. Kemudian kata-kata “al qirthas” itupun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan “kaqhid” dalam bahasa Persia itu.

        Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka. Kata-kata “kitab” di masa itu hanyalah berarti: sepotong kulit, batu, atau tulang dan sebagainya yang telah tertulis, atau berarti surat, seperti kata “kitab” dalam ayat 28 surat (27) An Naml.

“Pergilah dengan surat saya ini, maka jatuhkanlah dia kepada mereka....”

        Begitu juga kutub “kutub” (jama’ kitab) yang dikirimkan oleh Nabi kepada raja-raja di masanya, untuk menyeru mereka kepada Islam.

        Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu waktu Al Qur’anul Karim dibukukan di masa Khalifah Utsman bin ‘Affan – sebagai akan di terangkan nanti, tidak tahu mereka dengan apa Al Qur’an yang telah dibukukan itu akan dinamai, dan bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan “Al Mushaf”. (Ism maful dari ashhafa, dan ashhafa artinya: mengumpulkan shuhuf, jamak shahifah, lembaran-lembaran yang telah tertulis.)

        Kendatipun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Sebab perpegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya’ir-sya’ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (silsilah keturunan) mereka, peperangan-peperangan yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain-lain sebagainya, adalah kepada hafalan semata-mata.

        Demikianlah keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan agama Islam itu. maka dijalankanlah oleh Nabi suatu cara yang ‘amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Al Qur’anul Karim dan memeliharanya.

        Tiap-tiap diturunkan ayat-ayat itu Nabi menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya, di batu, kulit binatang, pelepah tamar, dan apa saja yang bisa dipakai untuk ditulis. Dan nabi menerangkan bagaimana ayat-ayat itu mesti disusun dalam sesuatu surat, artinya oleh Nabi direngkan tertib urut ayat-ayat itu. nabi mengatakan peraturannya, yaitu Al Qur’an sajalah yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur’an itu, yakni hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya. Larangan ini ialah dengan maksud supaya Al-Qur’anul Karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain-lain, yang juga didengar dari Nabi.

        Nabi menganjurkan supaya Al-Qur;an itu dihafal, dibaca selalu, dan diwajibkan membacanya dalam sembahyang.

        Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al-Qur’an. Surat yang satu macam, dihafal oleh ribuan manusia, dan hafal sama sekalipun banyak, dalam pada itu tidak ada satu ayatpun yang tak dituliskan.

        Kepandaian menulis dan membaca itu amat dihargai dan digembirakan oleh Nabi. Beliau berkata:

“Di akhirat nanti tinta ulama-ulama itu akan ditimbang dengan darah syuhada’ (orang-orang yang mati syahid)”.

        Pada peperangan Badar, orang-orang musyrikin yang ditawan oleh Nabi, yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis baca, masing-masingnya diharuskan mengajar sepuluh orang Muslim menulis dan membaca sebagai tebusan.

        Di dalam Al-Qur’an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi terhadap huruf, pena, dan tulisan. Firman Allah SWT.:

“Nun, demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”
(Surat (68) Al Qalam ayat 1)

....

“Bacalah dan Tuhanmu amat mulia. Yang telah mengajar dengan pena. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Surat (96) Al ‘Alaq ayat 3, 4, 5)

        Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca itu, dan banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Al-Qur’an untuk beliau. Penulis beliau yang terkenal ialah ‘Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan Mu’awiyah.

        Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong-menolong memelihara Al-Qur’an yang telah diturunkan itu.

  1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur’an.
  2. Naskah-naskah yang ditulis untuk Nabi.
  3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.

        Dalam pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur’an yang telah diturunkan. Di tahun beliau wafat, ulangan itu diadakan oleh Jibril dua kali.

        Nabi sendiripun sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya. Maka sahabat-sahabat it disuruh beliau membacakan Al-Qur’an itu di mukanya, untuk membetulkan hafalan atau bacaan mereka.

        Nabi baru wafat di waktu Al-Qur’an itu telah cukup diturunkan, telah dihafal oleh ribuan manusia, dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya.

        Ayat-ayatnya dalam sesuatu surat telah disusun menurut tertib urut yang ditunjukan sendiri oleh Nabi.

        Mereka telah mendengar Al-Qur’an itu dari mulut Nabi berkali-kali, dalam sembahyang, dalam pidato-pidato beliau, dalam pelajaran-pelajaran, dan lain-lain, sebagaimana Nabi sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Al-Qur’anul Karim adalah dijaga dan terpelihara baik-baik, dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al-Qur’an itu, sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu itu.

        Satu hal yang menarik perhatian, ialah Nabi baru wafat sebagai disebutkan di atas, ialah di kala Al-Qur’an itu telah cukup diturunkan, dan Al-Qur’an itu sempurna diturunkan ialah di waktu Nabi mendekati masanya untuk kembali ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa.

        Hal ini bukanlah suatu kebetulan saja, hanya telah diatur oleh Yang Maha Esa.

        

B. Al-Qur’an di Masa Abu Bakar r.a.

        Sesudah Rasulullah SAW. wafat, para sahabat baik Anshar maupun Muhajirin, sepakat mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah. Pada awal masa pemerintahannya banyak di antara orang-orang Islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman banyak diantara mereka yang menjadi murtad dari agamanya, dan banyak pula yang menolak membayar zakat. Di samping itu ada pula orang-orang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Hal ini dihadapi oleh Abu Bakar dengan tegas, sehingga ia berkata terhadap orang-orang yang membayar zakat itu demikian: “Demi Allah Kalau mereka menolak untuk menyerahkan seekor anak kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka”. Maka terjadilah peperangan yang hebat untuk menumpas orang-orang murtad dan pengikut-pengikut orang yang mengaku dirinya nabi itu. Di antara peperangan-peperangan itu yang terkenal adalah peperangan Yamamah. Tentara Islam yang ikut dalam peperangan ini, kebanyakan terdiri dari para sahabat dan para penghafal Al-Qur’an. Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Al-Qur’an. Bahkan sebelum itu gugur pula hampir sebanyak itu dari penghafal Al-Qur’an di masa Nabi pada suatu pertempuran di sumur Ma’unah dekat kota Madinah.

        Oleh karena Umar bin Khaththab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal Al-Qur’an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada Abu Bakar memusyawarahkan hal ini. Dalam buku Tafsir dan Hadits percakapan yang terjadi antara Abu Bakar, Umar, dan Zid bin Tsabit mengenai pengumpulan Al-Qur’an diterangkan sebagai berikut:

        Umar berkata kepada Abu Bakar: “Dalam peperangan Yamamah para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga banyak ayat-ayat Al-Qur’an itu perlu dikumpulkan”.

        Umar menegaskan : ”Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik”. Dan ia berulang kali memberikan alasan-alasan kebaikan pengumpulan Al-Qur’an ini, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima pendapat Umar itu. Kemudian Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya: “Umar ini mengajakku mengumpulkan Al-Qur’an”. Lalu diceritakannya segala pembicaraannya yang terjadi antara dia dengan Umar. Kemudian Abu Bakar berkata: “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas yang kupercayai sepenuhnya. Dan Engkau adalah seorang penulis wahyu yang selalu disuruh oleh Rasulullah. Oleh karena itu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Al-Qur’an itu”. Zaid menjawab: “Demi Allah! Ini adalah pekerjaan yang berat bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Qur’an yang Engkau perintahkan itu”. Dan Ia berkata selanjutnya kepada Abu Bakar dan Umar: “Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?” Abu Bakar menjawab: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik”. Ia lalu memberikan alasan-alasan kebaikan mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu, sehingga membukakan hati Zaid, kemudian Ia mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dari daun, pelepah kurma, batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an.

        Dalam usaha mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an itu Zaid bin Tsabit berkerja amat teliti. Sekalipun beliau hafal Al-Qur’an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Al-Qur’an yang sangat penting bagi umat Islam itu, masih memandang perlu mencocokan hafalan atau catatan sahabat-sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

        Dengan demikian Al-Qur’an seluruhnya telah ditulis oleh Zaid bin Tsabit dalam lembaran-lembaran, dan diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat-ayatnya sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, kemudian diserahkan kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap di tangan Abu Bakar sampai ia meninggal, kemudian dipindahkan ke rumah Umar bin Khaththab dan tetap ada di sana selama pemerintahannya. Sesudah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan ke rumah Hafsah, puteri ‘Umar, isteri Rasulullah sampai masa pengumpulan dan penyusunan Al-Qur’an di masa Khalifat Utsman.

 

C. Membukukan Al-Qur’anul Karim di Masa Utsman r.a.

        Tetaplah demikian keadaan Al-Qur’an itu, artinya telah dituliskan dalam satu naskah yang lengkap, di atas lembaran-lembaran yang serupa, ayat-ayat dalam sesuatu surat tersusun menurut tertib urut yang ditunjukan oleh Nabi. Lembaran-lembaran ini digulung dan diikat dengan benang-benang, disimpan oleh mereka yang disebutkan di atas.

        Di atas telah disebutkan bahwa di permulaan pemerintahan Khalifah Abu Bakar terjadilah riddah (pemberontakan orang-orang murtad). Yang kemudian dapat dipadamkan oleh Abu Bakar. Maka setelah Jaziratul Arab tenteram kembali, mulailah Abu Bakar menyiarkan Islam ke negeri-negeri berdekatan.

        Di masa beliau tentara Islam telah memasuki kota-kota Hirah dan Anbar (di Mesopotamia) dan telah sampai di sungai Yarmuk di Syria, dan di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab, kaum muslimin telah menaklukan Bactriane dekat sungai Ayax (Amu Daria) di sebelah timur, dan Mesir di sebelah barat.

        Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur, dan Tripoli di sebelah barat.

        Dengan demikian kelihatanlah bahwa kaum Muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syria, Irak, Persia, dan Afrika.

        Ke mana mereka pergi, dan di mana mereka tinggal Al-Qur’anul Karim itu tetap menjadi Imam mereka, di antara mereka banyak yang menghafal Al-Qur’an itu.

        Pada mereka ada naskah-naskah dari Al-Qur’an itu, tetapi naskah-naskah yang mereka punyai itu tidak sama susunan surat-suratnya.

        Begitu juga ada didapat di antara mereka pertikaian tentang bacaan Al-Qur’an itu. Asal mulanya pertikaian bacaan ini ialah karena Rasulullah sendiripun ada memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya, untuk membaca dan melafazkan Al-Qur’an itu menurut lahjah (dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi supaya mudah oleh mereka menghafal Al-Qur’an itu.

        Tetapi kemudian kelihatan tanda-tanda bahwa pertikaian tentang bacaan Al-Qur’an ini kalu dibiarkan saja, akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.

        Adalah orang yang mula-mula menghadapkan perhatian kepada hal ini seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman.

        Beliau ini ikut dalam pertempuran menaklukan Armenia dan Azerbaiyan, maka selama dalam perjalanan, dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur’an, dan pernah dia mendengar perkataan seorang Muslim kepada temannya; “Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu”.

        Keadaan ini mengagetkan Huzaifah, maka di waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan Al-Qur’an itu, seraya berkata: “Susunlah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al Kittab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara.”

        Maka oleh Khalifah Utsman bin Affan dimintakan kepada Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur’an yang ditulis di masa Khalifah Utsman bin Affan.

        Oleh Utsman dibentuklah satu panitia, terdiri dari Zaid bin Tsabit, sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ‘Ash, dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam.

        Tugas panitia ini ialah membukukan Al-Qur’an, yakni menyalin dari lembaran-lembaran yang tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasehatkan supaya:

  1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur’an
  2. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur’an itu diturunkan menurut dialek mereka.

        Maka dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka, dan setelah tugas itu selesai, maka lembaran-lembaran Al-Qur’an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan kepadanya.

        Al-Qur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan “Al Mushaf”, dan oleh panitia ditulis lima buah Al Mushaf. Empat buah di antaranya dikirim ke Mekkah, Syria, Basrah, dan Kufah, agar di tempat-tempat itu disalin pula dari masing-masing Mushaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan: “Mushaf Al Imam”.

        Sesudah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya.

        Maka dari Mushaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur’an itu.

        Adapun kelainan bacaan, sampai sekarang masih ada, karena bacaan-bacaan yang dirawikan dengan mutawatir dari Nabi terus dipakai oleh kaum Muslimin dan bacaan-bacaan tersebut tidaklah berlawanan dengan apa yang tertulis dalam Mushaf-mushaf yang ditulis di masa Utsman itu.

        Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur’an di masa Utsman itu faedahnya yang terutama ialah:

  1. Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushaf yang seragam ejaan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, dan kendatipun masih ada kelainan bacaan, tetapi bacaan tiu tidak berlawanan dengan ejaan Mushaf-mushaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushaf-mushaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut sebagai yang kelihatan pada Mushaf-mushaf sekarang.

        Disamping itu Nabi Muhammad SAW. sangat menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu banyak sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun menghafal Al-Qur’an seluruhnya. Kemudian di zaman tabi’ien, tabi’it tabi’ien, dan selanjutnya usaha-usaha menghafal Al-Qur’an ini dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.

        Pada zaman sekarang ini di Mesir, di sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan menghafal Al-Qur’an. Kalau mereka hendak menamatkan pelajaran di sekolah-sekolah Awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah Muallimin, maka hafalan mereka tentang Al-Qur’an itu selalu diuji, sehingga pelajar-pelajar lepasan sekolah Muallimin telah hafal Al-Qur’an seluruhnya dengan baik. Untuk mengambil ijazah sekolah persiapan Darul Ulum, pelajar-pelajar diuji dalam hafalan Al-Qur’anul Karim. Di tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah pada Al Azhar pun diwajibkan menghafal Al-Qur’an. Begitu pulalah halnya di negara-negara Arab yang lain, kegiatan menghafal Al-Qur’an itu dapat dilihat dengan jelas.

        Di Indonesia, di pondok-pondok, surau-surau, pesantren-pesantren, rangkang-rangkang, dan madrasah-madrasah terdapat pula usaha-usaha menghafal Al-Qur’an itu.

        Umat Islam merasa, bahwa adalah suatu ibadat yang besar menghafal Al-Qur’anul Karim. Orang-orang yang hafal Al-Qur’an amat ditinggikan dan dihormati.

        Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia ataupun yang didatangkan dari luar negeri, Pemerintah Republik Indonesia cq. Departemen Agama telah membentuk suatu panitia yang bertugas untuk memeriksa dan mentashheh Mushaf Al-Qur’an, yang ditetapkan dengan penetapan Menteri Agama No. 37 th. 1957.

        Selain itu Pemerintah juga sudah mempunyai Al-Qur’an pusaka berukuran 1x2 m, yang ditulis dengan tangan oleh penulis-penulis Indonesia sendiri, dimulai tanggal 23 Juni 1948/17 Ramadhan 1367 dan selesainya tanggal 15 Maret 1960/17 Ramadhan 1379, yang sekarang disimpan di Masjid Baiturrahim dalam Istana Negara. Al-Qur’an pusaka itu selain untuk menjaga kesucian dan kemurnian Al-Qur’an, juga dimaksudkan untuk menjadi induk dari Al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia.

        Dengan demikian dapat dijaga kemurnian Al-Qur’anul Karim.

        Dengan usaha-usaha yang disebutkan di atas terpeliharalah Al-Qur’anul Karim itu, dan sampailah Dia kepada kita sekarang dengan tidak ada perubahan sedikit juga dari apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

        Dalam pada itu, pada tiap-tiap zaman dan masa dia dihafal oleh jutaan umat Islam. Ini adalah salah satu inayat Tuhan untuk menjaga Al-Qur’an, dengan demikian terbuktilah Firman Allah:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”
(Surat (15) Al-Hijr ayat 9)

 

....

Kembali ke atas....

Indonesia Beriman